THE MOUNTAIN SERIES
Sesuai komitmen awal saya untuk
memperkenalkan wilayah Timor Barat melalui Moris Diak, saya biasanya memberikan
nama-nama daerah atau tempat di Timor pada karya-karya saya, dan saya meminjam beberapa nama gunung/bukit untuk beberapa produk, di antaranya:
Gunung Lakaan merupakan salah
satu gunung purba yang terletak di Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu. Gunung
yang juga dapat terlihat dari Atambua, kota tempat saya tinggal pada kurun
waktu 2008-2010. Saat itu saya bergabung dengan program edukasi pada sebuah
lembaga kemanusiaan yang fokus pada isu anak. Pekerjaan yang mengantar saya ke
beberapa sekolah dampingan di wilayah Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu. SDI
Manulor adalah salah satu favorit saya, tempatnya di ketinggian dengan
pemandangan yang indah.
di Lakus, Manulor |
Saya meminjam nama Lakaan untuk
beberapa totebag ethnic casual dari Moris Diak yang dibuat dari bahan kanvas
warna (biasanya merah) dengan kombinasi selendang tenun tradisional dari Pulau
Timor. Saya sengaja memakai warna merah untuk mengadaptasi kata “laka” dari
Bahasa Tetun (biasa dipakai di kabupaten Belu, Malaka dan Timor Leste) yang
artinya menyala.
Fatukopa
Fatukopa merupakan nama gunung batu (bukit)
sekaligus kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Namanya selalu
terngiang-ngiang dalam ingatan saya meskipun saya tidak menginjakkan kaki
secara langsung di wilayah ini karena saya harus bergerak "membuka jalur" untuk wilayah Toianas. Fatukopa merupakan salah satu
sumber perdebatan pada saat saya menjalankan sebuah survey pendidikan dan
kesehatan pada Oktober 2013 untuk salah satu lembaga di Universitas Gadjah Mada.
Data awal yang tidak valid dan misleading membuat tim saya harus bolak-balik
untuk mengambil data ke tempat ini, sementara kami sudah bergerak ke wilayah
berikutnya. Cukup menguras tenaga dan
emosi, tapi saya menganggapnya bumbu untuk perjalanan kami saat itu.
Fatukopa dari kejauhan nampak
seperti meja dengan puncak yang rata. Tempat ini bisa diakses melalui kecamatan
Amanuban Timur atau Amanatun Utara, Timor Tengah Selatan. Pilihan transportasi
yang bisa digunakan adalah truk penumpang
(truk dilengkapi dengan bangku-bangku kayu dan semua barang bawaan dari hasil
bumi, binatang, belanjaan akan diletakkan di bagian tengah diapit penumpang)
atau ojek. Ojek motor memang menjadi moda transportasi yang paling fleksibel
untuk mencapai wilayah ini. Selain kondisi jalan yang aduhai, jarak tempuh
antar desa/kecamatan yang berdekatan bahkan bisa mencapai dua jam perjalanan.
Saya memberikan nama Fatukopa
untuk sling bag Moris Diak yang dibuat dari bahan kanvas dengan kombinasi tenun
tradisional dari pulau Timor, dengan desain yang sederhana sehingga memudahkan
para traveler untuk menyimpan barang-barang kecil yang diperlukan saat
perjalanan, seperti notes, alat tulis, handphone dan gps mungkin :D
Mutis
Gunung Mutis adalah sebuah gunung
yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Saya sudah akrab dengan
kabutnya yang biasa menyapa saya saat menyambangi beberapa sekolah seperti SDK
Fatuneno, SDK Noepesu dan SDI Noebesi di wilayah Miomaffo Barat, Timor Tengah
Utara pada kurun waktu 2008-2010. Tapi baru pada Februari 2014 saya mempunyai
kesempatan untuk menyapanya melalui Kabupaten TTS.
Saat itu saya harus melalukan
revisit untuk pengambilan ulang beberapa data bersama rekan Dipto Djatmiko di
wilayah kecamatan Nunbena dan Tobu, yang merupakan pemekaran dari kecamatan
Fatumnasi. Ketiganya terletak di kaki Gunung Mutis ini. Sempat mendengar
ceritanya dari tim sebelumnya mengenai medan yang berat tidak menyurutkan
langkah kami, karena kami juga tergiur cerita keindahan tentang Fatumnasi,
sebuah desa yang digambarkan seperti negeri dongeng dengan hutan cemara dan
kuda-kuda liar merumput di antaranya.
vegetasi yang ada di Cagar Alam Gunung Mutis |
kuda merumput dengan tenang |
Universe conspired, sesuai
harapan kami bisa tiba di Desa Fatumnasi, meskipun Bapak Matheos Anin sempat
berkata bahwa selama dua hari sebelumnya badai menerpa sehingga tidak ada tamu
yang datang. Kami memang beruntung, atau niat kami didengar dan dibukakan pintu
oleh semesta?
Jadi kami memuaskan rasa haus
kami malam itu dengan mendengarkan cerita sejarah dari Bapak Anin (termasuk
kunjugan beliau ke Jogja, istana negara), menyantap masakan lezat dari Mama
Yuliana Fuka, bertanya tentang tenun alam dan usaha yang dijalankan Kak Wasti
(putri Bapak Anin), dan bergelung dalam sleeping bag setelahnya.
Keesokan paginya, kami harus
bergulat dengan arung jeram dari ibu Sungai Noelmina yang meluap khas musim
penghujan di Pulau Timor hanya untuk bisa mencapai desa Lil’ana, Noebesi, dan
Tobu. Tapi rasa haus saya tentang cerita, dongeng, makna tenun, dsb belumlah
tuntas. Dan saya bertekad untuk kembali lagi suatu saat nanti.
Sebagai pengingat, saya meminjam
nama Mutis untuk messenger bag Moris Diak yang saya desain dengan warna-warni
kanvas dan kombinasi tenun Timor yang meriah untuk merepresentasikan kerinduan
dan passion saya untuk belajar lebih banyak mengenai motif dan makna Tenun
Timor.
Comments
Post a comment