Cinta "Gombal"
Selain ibu saya, ada dua
perempuan yang mempunyai andil dalam membentuk cinta “gombal” saya. Beliau
berdua adalah Maria Martha Marumi dan Marwiyah. Keduanya mempunyai kisah hidup
yang berbeda, tapi keduanya mempunyai kesetiaan yang sama.
Yang pertama adalah perempuan
tangguh, sangat “rock n roll” pada zamannya. Seorang single fighter yang harus
berjuang sendiri sepeninggal suaminya dan menghidupi 12 anaknya. Pemikiran
beliau maju, meskipun beliau sendiri tidak bisa membaca, tapi beliau berhasil
menyekolahkan anak-anaknya minimal hingga SMA dengan usaha berjualan jarik di
sebuah pasar tradisional di kota kami.
Beliau idola saya dan saat kecil saya
selalu menempel pada beliau, menggelayut di jariknya kemanapun beliau pergi,
termasuk ke Jakarta, Surabaya, sampai ke Bali. Ya, jarik atau nyamping dan
kebaya, itu adalah kostum beliau yang tak tergantikan, meski kami akan naik
dokar, kereta, kapal, apapun itu, beliau tetap dengan pilihan kostumnya.
Bandingkan dengan saya yang akan menggerutu ketika tiba tanggal 21 April dan
harus antri di salon karena keharusan bermake-up. Tidak ada kegiatan kreatif
lainnya kah? Sungguh saya tidak benci mengenakan baju tradisional, tapi saya
tidak suka harus antri dari subuh hanya untuk di-make-up (apalagi
dibentak-bentak mbak salon untuk memulaskan eye-liner, uuuh…sakitnya tuh di sini
*tunjuk mata berair.)
Kembali ke perempuan satu ini, beliau
sangat keras. Tidak akan segan memberi hukuman jika mengetahui saya ikut
bermain lumpur dengan teman-teman sepulang sekolah. Mengunci pintu rumah jika
saya ketahuan kabur dari jadwal tidur siang dan memilih memanjat pohon mangga atau
mencari kecebong di kali. Tapi beliau juga akan membasuh rambut saya setelah
kehujanan, dengan air rendaman pada bonggol pohon pisang dan air cem-ceman
buatan sendiri. Beliau yang akan membuatkan teh manis dan ubi goreng untuk saya
habiskan sambil memandangi hujan dari jendela. Beliau yang setia meninabobokan
saya dan menyetelkan berderet-deret kaset pewayangan saat menjelang tidur.
Beliau yang akan menghadiahi saya satu kantong besar galundeng (sejenis
penganan lokal kesukaan saya) saat beliau menerima pensiun. Beliau juga yang
selalu menghadiahi trip perjalanan bersama beliau kesana-kemari.
Beliau pulalah yang memberi saya PR
untuk menggulung stagennya di malam hari
dan akan menyuruh saya mengulangnya lagi jika kedapatan belum kencang dan pas.
Juga melipat jarik, dan akan mengomeli saya jika lipatannya dan tumpukannya
salah. Beliau mencuci sendiri jarik-jariknya tanpa deterjen, melainkan cukup
dengan lerak. Dan sampai di saat terakhirnya pun beliau tetap setia dengan
kostum kesayangannya, jarik dan kebaya.
Perempuan yang satu lagi merupakan
ibu rumah tangga sejati. Setia mendampingi suaminya bertugas berpindah-pindah
kota sambil membesarkan keempat anaknya sampai akhirnya menetap di Cilacap setelah suaminya pensiun sebagai Kepala Kantor Pegadaian. Beliau bukan
wanita karir meskipun berpendidikan. Sehari-hari dihabiskan mengurus rutinitas
rumah tangga.
Beliau senang sekali memasak,
bukan masakan yang mentereng, tapi masakan rumahan. Sekarang saya kerap mencari
warung makan yang menjual sayuran “ndeso” demi mengenang masakan beliau. Jika
saya tidur di rumah beliau, berarti saat pulang saya akan membawa satu kantong
besar intip goreng (kerak nasi yang digoreng). Meski di rumah saja, tapi saya jarang melihat beliau duduk diam. Pasti
ada saja yang dilakukannya, termasuk seperti membuat kecap dan minyak kelapa.
Biasanya jika baru saja memasak kecap, pasti ada saja yang akan masuk ke
kantong untuk saya bawa pulang. Dan bodohnya, saat itu saya tidak mau
memakainya, saya memilih memakai kecap pabrikan atau minimal bermerk untuk dikonsumsi.
Sekarang setelah saya besar, dan sok-sok’an mengaku handmade crafter dan pro produk lokal, sungguh saya menyesal dengan
kelakuan bodoh saya. Padahal setiap botolnya dibuat bukan hanya dengan waktu dan tenaga,
tapi juga rasa cinta yang besar untuk keluarganya. Argh, penyesalan memang
datangnya selalu belakangan.
Di hari tuanya pun beliau tetap
saja tidak bisa diam, meski anak cucunya sudah berusaha memberikan kemudahan
dengan membelikan alat-alat masak elektronik dll, tetap saja beliau akan
memilih cara manual tradisional. Tidak peduli dengan permasalahan tulang
belakang dan penglihatan yang beliau alami di masa tuanya.
Meski kehidupan beliau berdua
cukup berbeda, tapi ada kesamaan yang sangat jelas. Keduanya adalah pecinta
kain tradisional. Keduanya memakai jarik dan kebaya, bukan hanya pada special occasion layaknya orang modern
masa kini, tapi setiap saat sepanjang hari, termasuk untuk melakukan berbagai
aktifitas yang menuntut ruang gerak lebih. Belum pernah saya mendengar komentar
negatif dari beliau berdua, apalagi keluhan seperti “aaah males ribet…”. Kalau yang berbau keluhan itu jelas milik saya.
*nyengir kuda
Saya sampai saat ini memang tidak
memakai jarik dll untuk acara-acara khusus, apalagi untuk kegiatan sehari-hari. Saya
punya cara sendiri untuk menunjukkan rasa cinta gombal saya yaitu dengan
mengemasnya lewat Moris Diak. Saya menggarap kain-kain tradisional itu menjadi
tas, pakaian, home decoration, dll tergantung ide apa yang sedang hinggap di
kepala saya. Tentu saja dengan gaya yang simple, casual, dan modern karena saya
tidak suka ribet seperti yang sudah disebut di atas.
“Whaaaat? Ga suka ribet???!! “, protes sahabat saya. “Kalau tidak
suka ribet itu jualan yang mainstream aja, ga usah pake konsep-konsep-an.”
Kalau sudah begini, saya cuma bisa nyengir kuda lagi. Ribet itu sudah paket
bawaan lahir. Lewat Moris Diak, saya memang mengemas cinta saya pada kain-kain
tradisional sekaligus mengusung penghormatan saya kepada perempuan-perempuan
yang sangat saya cintai, yaitu ibu dan kedua nenek saya yang telah saya
ceritakan di atas. Juga untuk karya-karya tangan perempuan Indonesia, yang dari
merekalah lahir warisan budaya tekstil nusantara. Karena sekali lagi, buat
saya, cinta “gombal” ini bukan sekedar cinta gombal.
Jogja, 8 April 2015
Comments
Post a comment