WORKSHOP ACTIVE CITIZEN SOCIAL ENTERPRISE BRITISH COUNCIL
Active Citizen Social Enterprise
Sungguh, saya sempat ragu untuk
melakukan registrasi ikut berpartisipasi di acara workshop Active Citizen Social
Enterprise yang diselenggarakan oleh British Council bekerja sama dengan
Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan lokal partner Yayasan Kampung
Halaman pada tanggal 23-26 Januari 2018. Bagaimana tidak? Dalam formulir tertera
kolom organisasi yang harus saya isi. Memang saya punya usaha lokal brand yang
saya geluti selama ini, meski belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, dan
saya belum memiliki badan hukum maupun organisasi formal. Hal ini disebabkan
kegundahan saya sekian lama untuk memutuskan akan menempatkan diri sebagai
seorang seniman/crafter atau pelaku bisnis. Sejak dilemparkannya ke pasar pada
April 2014, karena keterbatasan modal maka Moris Diak memang lebih banyak
dijalankan oleh saya sendiri dengan bagian produksi dibantu oleh beberapa ibu
penjahit berbasis rumahan lainnya. Tapi pada November 2017, akhirnya saya
memutuskan untuk menjadikan sebuah usaha sosial sesuai tujuan awal saya
melahirkan Moris Diak, untuk memperluas pasar tenun dan menciptakan kesempatan berkarya
bagi perempuan yang terlibat di dalamnya. Tak lama saya mengambil keputusan
itu, seolah gayung bersambut, saya mendapat informasi mengenai workshop Active
Citizen Social Enterprise tadi. Jadi bagaimana mungkin saya melewatkan
kesempatan langka seperti ini, apalagi acaranya diselenggarakan di Jogja dan
bebas biaya. Ok, ayo berangkat, Mila!
Sempat melewati drama ketinggalan
mengirim email konfirmasi keikutsertaan, toh akhirnya saya berhasil duduk dalam
kelas bersama dengan rekan-rekan perwakilan dari organisasi, social enterprise
dan para akademisi dari berbagai universitas di Jawa dan luar Jawa. Sungguh kesempatan
langka. Terus terang, saya sempat kecil hati saat ditanya partisipan lainnya, “Mbak
dari mana? Mewakili organisasi apa?” Meski toh tetap saya terangkan saya
mewakili brand saya sendiri, Moris Diak, sebuah start-up bussiness yang fokus
pada produk handmade yang dibuat dengan kombinasi kain tradisional Indonesia,
khususnya tenun NTT. Sementara peserta lainnya kebanyakan dari organisasi dan
universitas yang namanya sudah berkibar cukup lama dan dengan pengalaman
segudang, seperti Yayasan Satu Nama, Yayasan Kampung Halaman, Komunitas
Papringan, Unala, dsb. Tapi saya membesarkan hati sendiri, kalau mau maju,
harus belajar, dan rasa minder ditinggal saja saat sudah keluar dan mengunci pintu
rumah, hehehe.....
Saya mungkin termasuk orang yang
terlambat mengenal istilah social enterprise, meskipun saya sudah mengenal
beberapa contoh social enterprise yang ada di Indonesia. Dan meskipun saat saya
mendirikan Moris Diak saya tidak pernah menyebutkannya sebagai sebuah social
enterprise, tapi ternyata konsep itu lah yang sudah ada dalam kepala saya. Banyak
hal yang bisa saya pelajari saat mengikuti workshop ini, mulai dari mengenali
karakteristik social enterprise, tahapan dalam membangun social enterprise,
pembagian peran dalam social enterprise, pemetaan sumber daya dan bagaimana
cara menyiasati tantangan dalam menjalankannya, seperti keterbatasan modal, SDM
dsb. Ada satu hal lagi yang kemudian saya coba selesaikan mengisinya di rumah,
Bussiness Model Canvas, yang ternyata cukup membantu saya dalam
mengidentifikasi banyak komponen yang ada dalam sebuah usaha dan bagaimana
alurnya dalam mempengaruhi satu sama lain.
Dalam kesempatan ini, British
Council juga menyampaikan success story yang diwakili oleh Lawe dan Difabike,
dua social enterprise berbasis di Jogja, untuk membagikan pengalaman mereka
selama berproses sekian lama. Cukup menarik, Lawe dengan perjalanannya hampir
14 tahun bergelut dengan pelestarian tenun lurik dan sekarang juga merambah ke
tenun NTT, serta posisi mereka dalam pemberdayaan perempuan dalam komunitas.
Juga Difabike, yang diprakarsai oleh Mas Tri, sebuah jasa layanan transportasi,
city tour dan cargo yang melibatkan para penyandang difable sebagai driver. Mas Tri,
yang juga difable, mempunyai pemikiran yang melampaui keterbatasan keadaan
fisiknya untuk bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan bagi para penyandang difable
sekaligus memberikan layanan transportasi yang ramah bagi difable, yang dengan
jujur beliau akui lebih sering mengalami diskriminasi di tengah masyarakat.
Difabike telah menciptakan solusi untuk permasalahan yang real mereka hadapi
selama ini.
Bertukar pikiran selama empat
hari dalam suasana yang friendly dan metode aktif partisipatif membuat materi
workshop memang lebih mudah terinternalisasi. Tidak ada modul dan handout yang
diberikan, beberapa peserta termasuk saya, mencuri-curi waktu untuk sekedar
corat-coret menyimpan beberapa hal yang kami anggap penting (well, mostly very
important for me) karena saya harus mengakui rentang memori saya cukup pendek
karena seringnya berperan multi-tasking.
Sesuai rencana saya, bahwa tahun
2018 adalah tahun menata ulang Moris Diak sebagai sebuah usaha sosial, maka
ilmu yang diberikan dalam workshop ini dapat menjadi bekal yang sangat berguna
dalam proses saya selanjutnya, ditambah pula dengan network yang mulai
terbangun dengan beberapa pihak. Salah satu rencana tindak lanjut yang
merupakan buah pertemuan saya dengan salah satu ibu dosen pengampu mata kuliah
kewirausahaan sosial di FEB UGM, yang sekaligus peserta workshop ini adalah
project “penanaman” mahasiswanya ke beberapa SE yang menghadiri workshop
tersebut, salah satunya morisdiak. Selain itu, morisdiak juga masuk dalam peta
social enterprise yang ada di Indonesia, melalui salah satu survey yang
dilakukan oleh PLUS (Platform Usaha Sosial) di penghujung acara workshop ini.
Jadi, tugas saya sekarang adalah
bagaimana dengan segala keterbatasan sumber daya yang
menjadi tantangannya selama ini, saya harus mampu memetakan segala potensi dan kesempatan
berkolaborasi dengan banyak pihak untuk mencapai main goal untuk pelestarian tenun dan pemberdayaan perempuan
melalui usaha morisdiak. Sudah bukan saatnya lagi mengatakan bahwa jika
ingin membuat suatu usaha/start-up bussiness harus memiliki modal (baca: uang)
yang banyak, karena modal terbesar saat memulainya adalah dalam diri kita sendiri,
yaitu kemauan bergerak dan pantang berhenti sampai tujuannya tercapai.
EVERYTHING BIG STARTS SMALL, itu yang sering saya katakan pada diri sendiri
saat memulai morisdiak, tapi ada hal yang penting juga untuk dilakukan untuk
selalu menyemai, menyiram, dan memberinya pupuk supaya dia bisa tumbuh serupa
pohon kehidupan dan mencapai tujuan utamanya.
Comments
Post a comment